Perjalanan pulang lewat jalur yang sama berjalan lancar tanpa kendala. Dari Stasiun Bekasi menuju rumah pun terasa aman dan mulus.
Setibanya di rumah, tak butuh waktu lama bagi kami untuk berkemas lagi. Saya, istri, dan Syarif segera bersiap karena Nenek bersama Syakirah dan Syafima juga sudah menunggu. Agenda selanjutnya: berkunjung ke rumah teman Nenek di Cibitung.
Singkat cerita, tibalah kami di Cibitung, tepatnya di Perumahan Metland. Kali ini kendaraan yang digunakan berbeda. Jika pagi berangkat ke CFD kami mengandalkan sepeda motor yang diparkir di Stasiun Bekasi, maka ke Cibitung saya memilih membawa mobil. Alasannya sederhana: penumpang bertambah. Bersama Nenek, Syakirah, dan Syafima, total ada enam orang dalam perjalanan.
Di rumah teman Nenek, suasana berlangsung hangat penuh silaturahmi. Kami berbincang ringan, sekaligus memberi dukungan karena beliau baru saja menjalani operasi sendi kaki. Peradangan yang cukup parah membuat tempurung kakinya harus diangkat melalui prosedur operasi.
Selepas itu, kami melanjutkan perjalanan menuju Jakarta Barat. Dan di sinilah, bagian terpenting dari cerita ini terjadi—momen yang membuat hari Minggu tersebut akan selalu saya kenang.
Sejujurnya sejak awal saya sudah punya firasat dengan Terios yang saya kendarai. Ada rasa berat setiap kali digas, meski masih bisa dikendalikan.
Menjelang sore, kami memasuki Tol Telaga Asih Cibitung untuk mengarah ke Ancol. Waktu menunjukkan pukul 17.10 WIB, perjalanan masih terasa normal. Saya tetap menjaga kecepatan di angka 100 km/jam, sesuai aturan di jalan tol.
Setelah keluar dari Tol Telaga Asih dan masuk ke jalur Tol Tanjung Priok, tepat di KM 17 menjelang pintu keluar Ancol, tiba-tiba mobil terasa makin berat. Disertai suara gemuruh keras dari bagian belakang, membuat suasana seketika berubah tegang.
Istri saya spontan bertanya, “Bunyi apa itu, Bi?” Untuk menenangkan keadaan, saya menjawab singkat, mungkin saja suara aspal. Namun dalam hati, rasa waspada semakin kuat. Saya segera mengurangi gas perlahan, menurunkan kecepatan dari 100 km/jam.
Kondisi jalan tol saat itu cukup ramai, dengan segera saya menyalakan lampu hazard, lalu meminggirkan mobil setahap demi setahap. Syukurlah pengemudi di belakang sigap merespons—mereka mengarahkan mobil ke kanan, memberi ruang bagi saya. Alhamdulillah, tidak terjadi tabrakan.
Yang paling saya khawatirkan kala itu adalah kecelakaan beruntun. Bayangan itu begitu menakutkan, tapi Allah masih memberi perlindungan.Setelah mobil berhasil merapat ke sisi kiri jalan, saya sengaja tetap menyalakan lampu hazard dan menahan lampu rem agar kendaraan lain lebih waspada. Hening sejenak, saya mencoba menenangkan diri. Namun rasa janggal semakin terasa—mobil condong miring ke kiri.
Firasat saya langsung tertuju pada ban bagian kiri, mungkin kempes atau kehilangan angin secara drastis. Bayangan buruk tentang kondisi roda membuat dada makin sesak.
Dengan hati-hati, saya membuka pintu kemudi, memastikan tidak ada kendaraan yang melintas terlalu dekat. Syukurnya, para pengendara lain tampak memahami sinyal bahaya dari lampu hazard. Mereka memberi jarak aman, tidak melintas terlalu tipis di samping mobil kami.
Saat saya menunduk melihat kondisi roda belakang sebelah kiri, jantung rasanya berhenti seketika. Ban pecah belah, hancur tak berbentuk, dan velg hampir menyentuh aspal. Seketika saya tak henti-hentinya mengucap syukur kepada Allah. Bayangkan, andai mobil sempat oleng atau membanting ke kiri, entah apa yang akan terjadi. Sungguh, ini terasa seperti mukjizat—saya dan keluarga masih diberi keselamatan.
Tanpa membuang waktu, saya segera menghubungi nomor bantuan darurat jalan tol. Alhamdulillah, responnya cepat. Petugas langsung mengarahkan saya kepada tim Jasa Marga yang kebetulan sedang berada di sekitar jalur tol tersebut.
Yang paling membuat hati saya terharu adalah sikap para petugas. Dengan senang hati mereka membantu melepas ban, padahal jelas bukan kewajiban pribadi mereka. Saat berkomunikasi lewat telepon, mereka sempat menanyakan apakah saya memiliki kelengkapan kunci mobil. Jika tidak, mereka menawarkan untuk memakai peralatan mereka sendiri.
Ban pecah dilepas, lalu diganti dengan ban cadangan. Namun, ternyata ban serap saya pun dalam kondisi tidak normal.
Petugas kemudian menyarankan agar saya membeli ban baru di toko ban mobil di kawasan Jatinegara. Lagi-lagi, ketulusan mereka membuat saya terkesan: salah seorang petugas menawarkan untuk mengantar saya ke toko ban, bahkan mempersilakan ikut kendaraan mereka.
Sementara itu, mobil saya tetap dibiarkan menyala. Saya berpesan pada istri untuk menjaga anak-anak agar tidak membuka pintu atau keluar kendaraan.
Mengetahui kekhawatiran saya, mereka bahkan menyiagakan satu petugas khusus untuk berjaga di luar mobil. Saya benar-benar merasa lega, karena tahu kondisi jalan tol Tanjung Priok di malam hari cukup rawan, apalagi ketika sedang sepi.
Petugas pun sigap memasang cone di sekitar mobil saya. Itu membuat kendaraan lain lebih waspada, karena rata-rata melaju dengan kecepatan tinggi di jalur tersebut. Setelah merasa cukup aman, saya ikut bersama mereka menuju toko ban di kawasan Jatinegara.
Sesampainya di sana, ban mobil langsung diganti, termasuk ban serap yang kondisinya memang sudah tidak layak.
Prosesnya memakan waktu sekitar 40 menit, karena ban lama harus dibuka satu per satu dan dipasangkan dengan yang baru. Meski menunggu agak lama, saya justru merasa lega—setiap detik proses itu berarti tambahan rasa aman bagi keluarga saya.
Usai pekerjaan selesai, tanpa berlama-lama kami kembali menuju KM 17, tempat mobil saya diparkir menepi di tol.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar