Kamis, 25 September 2025

Salah Satu Kebijakan Bahlil yang Mengorbankan Nyawa

>Panggung Politik, Rakyat Dijadikan Tumbal
        Menteri ESDM Bahlil Lahadalia sekali lagi menunjukkan betapa berbahayanya kekuasaan tanpa arah yang jelas. Larangannya terhadap pengecer gas elpiji 3 kg bukan sekadar keputusan tergesa-gesa, tetapi bencana yang mengorbankan rakyat kecil. Seorang ibu rumah tangga harus kehilangan nyawa hanya karena berjam-jam menunggu sebotol gas melon yang seharusnya mudah diperoleh. Apa arti pembangunan dan pertumbuhan ekonomi jika kenyataan di lapangan begitu tragis? Seorang ibu berkeliling dari pagi, berharap bisa menanak nasi untuk keluarganya, namun yang ia temui hanyalah antrean panjang, tubuh lelah, dan akhirnya ajal. Semua karena kebijakan yang lahir dari ketidakpedulian. Ini bukan sekadar kesalahan teknis; ini adalah bentuk kejam dari kegagalan struktural. Lebih menyedihkan lagi, kebijakan ini bahkan tidak sejalan dengan visi Presiden Prabowo Subianto yang berkali-kali menekankan keberpihakan kepada rakyat kecil. Bahlil seolah berjalan dengan irama politiknya sendiri, seperti dalang yang memainkan wayang tanpa pernah mengerti jalan cerita. Ia lupa dirinya hanya pelaksana, bukan penguasa. Bila tak mampu membaca arah besar pemimpinnya, tidakkah seharusnya ia tahu diri dan mundur sebelum lebih banyak korban jatuh? Kita bukan bangsa yang tuli atau buta. Kita tahu, kita lihat, dan kita rasakan sendiri penderitaan yang lahir dari keputusan tanpa hati. Di negeri yang penuh sumber daya ini, mengapa rakyat harus mati-matian hanya demi sebotol gas subsidi? Apa gunanya sebuah kabinet jika isinya lebih sibuk memoles citra daripada bekerja untuk rakyat?

Menjaring Angin, Rakyat Kehilangan Harapan
        Kekacauan ini hanyalah cermin dari sistem energi Indonesia yang tak kunjung beranjak maju. Di saat negara lain beralih ke jaringan gas kota dan listrik bersih, kita masih terjebak pada distribusi manual yang penuh celah permainan harga. Ironisnya, pemerintah lebih gencar mengiklankan mobil listrik, sementara kompor listrik yang lebih masuk akal bagi rakyat kecil nyaris tak tersentuh. Apakah ini sekadar kelalaian? Atau ada kepentingan tersembunyi yang membuat pejabat lebih nyaman dengan impor elpiji ketimbang mencari solusi jangka panjang? Padahal, sektor lain bisa lebih tertata. Subsidi pupuk kini diatur dengan kartu, bensin subsidi pun mulai lebih terarah. Mengapa urusan elpiji justru digenggam dengan tangan yang goyah? Bagaimana mungkin kompor listrik dianggap mustahil, sementara mobil listrik yang lebih mewah didorong mati-matian? Semua ini menimbulkan tanya: siapa sebenarnya yang sedang dilayani? Kemanusiaan yang Mati di Kursi Kekuasaan Nyawa telah hilang.


        Dan bila seorang pemimpin sejati masih ada, ia akan bertanggung jawab dengan mundur, bukan bersembunyi di balik alasan politik. Jika nyawa rakyat kecil kalah penting dibanding gengsi seorang pejabat, maka yang mati bukan hanya nurani, tapi juga kemanusiaan di kursi kekuasaan. Bahlil harus sadar, rakyat bukan pion dalam papan catur politiknya. Jika masih ada sisa kehormatan, langkah paling terhormat yang bisa ia ambil hanyalah pergi—sebelum sejarah mencatat namanya sebagai menteri yang meninggalkan lebih banyak luka daripada manfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar