>Panggung Politik, Rakyat Dijadikan Tumbal
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia sekali lagi menunjukkan betapa berbahayanya
kekuasaan tanpa arah yang jelas. Larangannya terhadap pengecer gas elpiji 3 kg
bukan sekadar keputusan tergesa-gesa, tetapi bencana yang mengorbankan rakyat
kecil. Seorang ibu rumah tangga harus kehilangan nyawa hanya karena berjam-jam
menunggu sebotol gas melon yang seharusnya mudah diperoleh. Apa arti pembangunan
dan pertumbuhan ekonomi jika kenyataan di lapangan begitu tragis? Seorang ibu
berkeliling dari pagi, berharap bisa menanak nasi untuk keluarganya, namun yang
ia temui hanyalah antrean panjang, tubuh lelah, dan akhirnya ajal. Semua karena
kebijakan yang lahir dari ketidakpedulian. Ini bukan sekadar kesalahan teknis;
ini adalah bentuk kejam dari kegagalan struktural. Lebih menyedihkan lagi,
kebijakan ini bahkan tidak sejalan dengan visi Presiden Prabowo Subianto yang
berkali-kali menekankan keberpihakan kepada rakyat kecil. Bahlil seolah berjalan
dengan irama politiknya sendiri, seperti dalang yang memainkan wayang tanpa
pernah mengerti jalan cerita. Ia lupa dirinya hanya pelaksana, bukan penguasa.
Bila tak mampu membaca arah besar pemimpinnya, tidakkah seharusnya ia tahu diri
dan mundur sebelum lebih banyak korban jatuh? Kita bukan bangsa yang tuli atau
buta. Kita tahu, kita lihat, dan kita rasakan sendiri penderitaan yang lahir
dari keputusan tanpa hati. Di negeri yang penuh sumber daya ini, mengapa rakyat
harus mati-matian hanya demi sebotol gas subsidi? Apa gunanya sebuah kabinet
jika isinya lebih sibuk memoles citra daripada bekerja untuk rakyat?
Menjaring Angin, Rakyat Kehilangan Harapan
Kekacauan ini hanyalah cermin dari sistem energi Indonesia yang tak kunjung
beranjak maju. Di saat negara lain beralih ke jaringan gas kota dan listrik
bersih, kita masih terjebak pada distribusi manual yang penuh celah permainan
harga. Ironisnya, pemerintah lebih gencar mengiklankan mobil listrik, sementara
kompor listrik yang lebih masuk akal bagi rakyat kecil nyaris tak tersentuh.
Apakah ini sekadar kelalaian? Atau ada kepentingan tersembunyi yang membuat
pejabat lebih nyaman dengan impor elpiji ketimbang mencari solusi jangka
panjang? Padahal, sektor lain bisa lebih tertata. Subsidi pupuk kini diatur
dengan kartu, bensin subsidi pun mulai lebih terarah. Mengapa urusan elpiji
justru digenggam dengan tangan yang goyah? Bagaimana mungkin kompor listrik
dianggap mustahil, sementara mobil listrik yang lebih mewah didorong
mati-matian? Semua ini menimbulkan tanya: siapa sebenarnya yang sedang dilayani?
Kemanusiaan yang Mati di Kursi Kekuasaan Nyawa telah hilang.
Dan bila seorang
pemimpin sejati masih ada, ia akan bertanggung jawab dengan mundur, bukan
bersembunyi di balik alasan politik. Jika nyawa rakyat kecil kalah penting
dibanding gengsi seorang pejabat, maka yang mati bukan hanya nurani, tapi juga
kemanusiaan di kursi kekuasaan. Bahlil harus sadar, rakyat bukan pion dalam
papan catur politiknya. Jika masih ada sisa kehormatan, langkah paling terhormat
yang bisa ia ambil hanyalah pergi—sebelum sejarah mencatat namanya sebagai
menteri yang meninggalkan lebih banyak luka daripada manfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar